Selasa, 17 Maret 2009

[ Selasa, 17 Maret 2009 ]
Kecewa, Mantan Kapolda Jatim Mundur
Dugaan DPT Fiktif Pilkada Jawa Timur

JAKARTA - Kasus dugaan daftar pemilih tetap (DPT) fiktif pilkada Jawa Timur yang pernah menjadikan Ketua KPU Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka diungkap lagi. Mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Herman S. Sumawiredja meminta kasus yang dilaporkan kubu Khofifah itu dituntaskan.

"Saya bicara bukan lagi dalam kapasitas sebagai seorang polisi. Sebab, saya sudah mengundurkan diri (sebagai anggota Polri)," kata Herman S. Sumawiredja kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Acara jumpa pers Herman yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, itu dihelat secara mendadak. Wartawan mendapat pemberitahuan melalui pesan singkat yang dikirimkan oleh Neta S. Pane, ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW).

Herman yang datang dengan baju lengan panjang putih bergaris itu tampak tenang. "Saya ini justru ingin memperbaiki citra polisi. Tidak ada maksud yang lain-lain," katanya. Surat pengunduran dirinya sudah disampaikan sejak serah terima jabatan dengan Kapolda Jatim yang baru, Brigjen Anton Bachrul Alam, 19 Februari lalu. Dalam surat itu, Herman menyatakan berhenti dari dinas kepolisian per 1 Maret 2009. Seharusnya dia baru pensiun per 1 Juni 2009.

Kasus dugaan daftar pemilih tetap itu terjadi di Bangkalan dan Sampang, Madura. Menurut Herman, pihaknya sudah menyidik kasus itu dengan ekstra hati-hati. "Tapi, saat dilaporkan ke tingkat Mabes, saya justru ditegur. Ini ada apa? Apa ada intervensi dari pihak lain?" katanya.

Dari total DPT di Bangkalan dan Sampang sebanyak 1.244.619, menurut Herman, terdapat 345.034 atau 27,17 persen dalam bentuk soft copy. "Karena itu, kami bertanya, mana yang asli," katanya.

Tim Polda Jatim lantas mengumpulkan semua DPT dari KPU Jatim. Dari total 2.768 buku DPT, yang berhasil dianalisis 368 buku yang memuat 128.390 pemilih. Ternyata, di antara 128.390 pemilih itu terdapat 29.948 pemilih fiktif.

"Setelah kami cek, ada 19 nama Rohli dengan alamat yang berbeda, tanggal lahir dan TPS yang berbeda, tapi masih dalam satu kecamatan. Saat di-search berdarsarkan NIK, ternyata nomor NIK tersebut memiliki 20 nama yang berbeda, tapi alamat, tempat, dan tanggal lahir sama," bebernya.

Selain nama Rohli yang berulang datanya, ada juga nama Ahmad, Muji, dan Tursini. "Ada beberapa nama, saya tidak hafal semua," tambahnya.

Kasus itu lantas masuk ke tahap penyidikan. Ketua KPU Jatim Wahyudi Purnomo lalu ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap mengetahui duduk perkara dugaan pemalsuan itu. Dasarnya SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) tertanggal 18 Februari 2009 dengan dugaan melanggar pasal 115 ayat 1 dan 3 UU 32/2004 yang diubah dengan UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah. Sehari setelah SPDP itu dikeluarkan, Herman dimutasi. Serah terima jabatan dilaksanakan di Mabes Polri.

Empat hari setelah Herman ditarik menjadi pati (perwira tinggi) Mabes Polri, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Susno Duadji menegaskan bahwa status Wahyudi belum menjadi tersangka. "Itu terburu-buru," kata Susno saat itu.

Herman menilai pernyataan Susno saat itu merupakan salah satu bentuk intervensi. "Padahal, kalau dilanjutkan, justru polisi benar-benar menegakkan demokrasi dan keadilan," tegasnya.

Dia khawatir jika kasus itu diambangkan dan tidak dilanjutkan, akan berimbas kepada pemilu yang tinggal 24 hari lagi. "Ujung-ujungnya, Jawa Timur akan semakin tidak kondusif. Bagaimana jika ternyata pelanggaran itu sistematis dan diulangi lagi," katanya. Dia juga menyesalkan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang terburu-buru mengambil putusan.

Mengapa baru bicara sekarang? Herman mengaku menunggu saat yang tepat. "Saya bicara sebagai orang bebas. Kalau polisi kan harus lewat humas, lewat aturan protokoler," ujarnya.

Herman menyesalkan penggantian dirinya sebagai Kapolda tanpa diikuti job description (rincian kerja) yang jelas. "Saya seperti membohongi hati nurani. Tidak kerja, tapi mendapat gaji. Saya tidak mau," ungkapnya.

Herman tidak memungkiri bahwa dirinya mengenal baik kandidat wakil gubernur Jawa Timur Mudjiono (pasangan calon gubernur Khofifah yang mengadukan kasus itu). Baik Herman maupun Mudjiono adalah angkatan 1975 di Akabri (dulu pendidikan polisi gabung TNI). "Tapi, bukan karena itu. Intinya, saya ini menemukan pelanggaran," katanya.

Dia juga mengaku tak tertarik terjun ke dunia politik. "Saya tidak berminat ke sana. Mungkin, jadi dosen saja, atau sekolah lagi," ujarnya, lantas tersenyum.

Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Abubakar Nataprawira menegaskan, penggantian Herman tidak ada kaitan dengan kasus pilkada Jawa Timur. "Dia memang akan diganti karena Mei (2009) pensiun," jelas Abubakar di kantornya.

Keputusan mengganti Herman dengan Brigadir Jenderal Polisi Anton Bachrul Alam lebih awal dimaksudkan agar ada persiapan yang cukup menjelang pemilu. "Kalau pergantian mendadak, akan menyulitkan koordinasi dengan bawahannya," katanya.

Bagaimana dengan tudingan intervensi kasus dari Kabareskrim? Hingga tadi malam, Komjen Susno Duadji belum memberikan pernyataan. Sejak sore, telepon genggamnya saat dihubungi Jawa Pos tidak aktif. (rdl/el)
[ Selasa, 17 Maret 2009 ]
Kecewa, Mantan Kapolda Jatim Mundur
Dugaan DPT Fiktif Pilkada Jawa Timur

JAKARTA - Kasus dugaan daftar pemilih tetap (DPT) fiktif pilkada Jawa Timur yang pernah menjadikan Ketua KPU Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka diungkap lagi. Mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Herman S. Sumawiredja meminta kasus yang dilaporkan kubu Khofifah itu dituntaskan.

"Saya bicara bukan lagi dalam kapasitas sebagai seorang polisi. Sebab, saya sudah mengundurkan diri (sebagai anggota Polri)," kata Herman S. Sumawiredja kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Acara jumpa pers Herman yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, itu dihelat secara mendadak. Wartawan mendapat pemberitahuan melalui pesan singkat yang dikirimkan oleh Neta S. Pane, ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW).

Herman yang datang dengan baju lengan panjang putih bergaris itu tampak tenang. "Saya ini justru ingin memperbaiki citra polisi. Tidak ada maksud yang lain-lain," katanya. Surat pengunduran dirinya sudah disampaikan sejak serah terima jabatan dengan Kapolda Jatim yang baru, Brigjen Anton Bachrul Alam, 19 Februari lalu. Dalam surat itu, Herman menyatakan berhenti dari dinas kepolisian per 1 Maret 2009. Seharusnya dia baru pensiun per 1 Juni 2009.

Kasus dugaan daftar pemilih tetap itu terjadi di Bangkalan dan Sampang, Madura. Menurut Herman, pihaknya sudah menyidik kasus itu dengan ekstra hati-hati. "Tapi, saat dilaporkan ke tingkat Mabes, saya justru ditegur. Ini ada apa? Apa ada intervensi dari pihak lain?" katanya.

Dari total DPT di Bangkalan dan Sampang sebanyak 1.244.619, menurut Herman, terdapat 345.034 atau 27,17 persen dalam bentuk soft copy. "Karena itu, kami bertanya, mana yang asli," katanya.

Tim Polda Jatim lantas mengumpulkan semua DPT dari KPU Jatim. Dari total 2.768 buku DPT, yang berhasil dianalisis 368 buku yang memuat 128.390 pemilih. Ternyata, di antara 128.390 pemilih itu terdapat 29.948 pemilih fiktif.

"Setelah kami cek, ada 19 nama Rohli dengan alamat yang berbeda, tanggal lahir dan TPS yang berbeda, tapi masih dalam satu kecamatan. Saat di-search berdarsarkan NIK, ternyata nomor NIK tersebut memiliki 20 nama yang berbeda, tapi alamat, tempat, dan tanggal lahir sama," bebernya.

Selain nama Rohli yang berulang datanya, ada juga nama Ahmad, Muji, dan Tursini. "Ada beberapa nama, saya tidak hafal semua," tambahnya.

Kasus itu lantas masuk ke tahap penyidikan. Ketua KPU Jatim Wahyudi Purnomo lalu ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap mengetahui duduk perkara dugaan pemalsuan itu. Dasarnya SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) tertanggal 18 Februari 2009 dengan dugaan melanggar pasal 115 ayat 1 dan 3 UU 32/2004 yang diubah dengan UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah. Sehari setelah SPDP itu dikeluarkan, Herman dimutasi. Serah terima jabatan dilaksanakan di Mabes Polri.

Empat hari setelah Herman ditarik menjadi pati (perwira tinggi) Mabes Polri, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Susno Duadji menegaskan bahwa status Wahyudi belum menjadi tersangka. "Itu terburu-buru," kata Susno saat itu.

Herman menilai pernyataan Susno saat itu merupakan salah satu bentuk intervensi. "Padahal, kalau dilanjutkan, justru polisi benar-benar menegakkan demokrasi dan keadilan," tegasnya.

Dia khawatir jika kasus itu diambangkan dan tidak dilanjutkan, akan berimbas kepada pemilu yang tinggal 24 hari lagi. "Ujung-ujungnya, Jawa Timur akan semakin tidak kondusif. Bagaimana jika ternyata pelanggaran itu sistematis dan diulangi lagi," katanya. Dia juga menyesalkan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang terburu-buru mengambil putusan.

Mengapa baru bicara sekarang? Herman mengaku menunggu saat yang tepat. "Saya bicara sebagai orang bebas. Kalau polisi kan harus lewat humas, lewat aturan protokoler," ujarnya.

Herman menyesalkan penggantian dirinya sebagai Kapolda tanpa diikuti job description (rincian kerja) yang jelas. "Saya seperti membohongi hati nurani. Tidak kerja, tapi mendapat gaji. Saya tidak mau," ungkapnya.

Herman tidak memungkiri bahwa dirinya mengenal baik kandidat wakil gubernur Jawa Timur Mudjiono (pasangan calon gubernur Khofifah yang mengadukan kasus itu). Baik Herman maupun Mudjiono adalah angkatan 1975 di Akabri (dulu pendidikan polisi gabung TNI). "Tapi, bukan karena itu. Intinya, saya ini menemukan pelanggaran," katanya.

Dia juga mengaku tak tertarik terjun ke dunia politik. "Saya tidak berminat ke sana. Mungkin, jadi dosen saja, atau sekolah lagi," ujarnya, lantas tersenyum.

Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Abubakar Nataprawira menegaskan, penggantian Herman tidak ada kaitan dengan kasus pilkada Jawa Timur. "Dia memang akan diganti karena Mei (2009) pensiun," jelas Abubakar di kantornya.

Keputusan mengganti Herman dengan Brigadir Jenderal Polisi Anton Bachrul Alam lebih awal dimaksudkan agar ada persiapan yang cukup menjelang pemilu. "Kalau pergantian mendadak, akan menyulitkan koordinasi dengan bawahannya," katanya.

Bagaimana dengan tudingan intervensi kasus dari Kabareskrim? Hingga tadi malam, Komjen Susno Duadji belum memberikan pernyataan. Sejak sore, telepon genggamnya saat dihubungi Jawa Pos tidak aktif. (rdl/el)